UMKMTangerang.com – Kopi bukan lagi sekadar komoditas, tetapi telah menjelma menjadi budaya dan identitas masyarakat lokal. Di berbagai sudut Kabupaten dan Kota Tangerang, geliat usaha kopi tumbuh subur, terutama melalui warung kopi, roasting house, dan UMKM kopi skala kecil. Namun, agar usaha ini tidak hanya musiman dan mampu bersaing di pasar lebih luas, dibutuhkan sistem pendukung yang kuat dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan strategis yang kini mulai diterapkan adalah kemitraan usaha kopi lokal bersama BUMDes di Tangerang.
Melalui kerja sama ini, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak hanya menjadi pengelola aset desa, tetapi juga bertindak sebagai fasilitator sekaligus investor lokal dalam pengembangan usaha kopi berbasis komunitas.
Inisiatif ini mempertemukan kekuatan warga, semangat UMKM, dan sistem kelembagaan desa dalam satu kesatuan. Hasilnya, produk kopi lokal Tangerang mulai tampil lebih profesional, memiliki jalur distribusi, serta mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi warga sekitar.
Bermodalkan potensi desa yang melimpah—baik dari segi sumber daya manusia maupun lahan produktif—kemitraan antara BUMDes dan pelaku usaha kopi kini menjadi contoh keberhasilan ekonomi kolaboratif yang menyentuh akar rumput. Lantas, bagaimana skema kemitraan ini berjalan? Apa saja dampaknya bagi pelaku usaha dan masyarakat desa?
1. Skema Kolaborasi BUMDes dan UMKM Kopi Lokal
Model kemitraan usaha kopi bersama BUMDes biasanya dimulai dari identifikasi potensi lokal, termasuk adanya petani kopi, pemuda desa yang ingin membuka usaha kopi, serta ketersediaan lahan atau tempat usaha. BUMDes kemudian hadir sebagai lembaga yang menjembatani kebutuhan ini melalui pendanaan awal, penyediaan tempat, atau bahkan sarana roasting dan pengemasan.
Contoh konkretnya dapat ditemukan di Desa Cikasungka, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang. Di sana, BUMDes menggandeng komunitas pemuda pecinta kopi membentuk unit usaha bersama bernama “Kopi Kampung Cikasungka”. BUMDes menyediakan modal dan tempat produksi, sedangkan pengelolaan dijalankan oleh pemuda setempat.
Dalam kerja sama ini, BUMDes menerapkan sistem bagi hasil yang transparan. Selain itu, keuntungan juga diarahkan untuk membiayai program desa seperti pelatihan kewirausahaan, beasiswa, hingga pengembangan produk lokal lainnya.
Skema ini memastikan bahwa UMKM kopi di desa tidak berjalan sendiri, melainkan menjadi bagian dari sistem ekonomi desa yang terukur dan profesional.
2. Peran BUMDes sebagai Katalisator Ekonomi Kopi Desa
BUMDes di Tangerang tidak hanya berfungsi sebagai investor pasif. Mereka aktif menjadi katalisator melalui pelatihan usaha, fasilitasi perizinan, hingga pencarian pasar. Dengan dukungan dari dinas koperasi dan UMKM, BUMDes diberi mandat untuk membantu pelaku usaha mengakses program bantuan pemerintah seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan BPUM.
Beberapa BUMDes bahkan telah menjalin kemitraan dengan kampus dan lembaga swadaya masyarakat untuk memperkuat kapasitas SDM pelaku usaha kopi. Ini mencakup pelatihan teknik sangrai (roasting), barista dasar, hingga pemasaran digital.
Tidak sedikit pula BUMDes yang membuat subunit usaha berupa café desa atau stand kopi di pasar mingguan, sehingga memberikan ruang promosi dan penjualan langsung bagi pelaku UMKM kopi setempat.
Melalui peran aktif ini, BUMDes menjadi motor penggerak yang memastikan kopi lokal desa tidak hanya dikenal di dalam kampung, tetapi juga di luar wilayah bahkan lintas kota.
3. Manfaat Langsung Bagi Pelaku Usaha dan Warga Desa
Dampak dari kemitraan antara BUMDes dan UMKM kopi bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat desa. Pertama, warga yang sebelumnya menganggur kini memiliki lapangan kerja, mulai dari petani kopi, pengolah biji, hingga barista warung kopi desa.
Kedua, pemuda desa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dalam usaha tanpa harus keluar kota. Mereka dapat belajar tentang kewirausahaan, manajemen keuangan, hingga digital marketing.
Ketiga, desa mendapatkan tambahan pendapatan asli desa (PADes) dari unit usaha kopi yang dikelola bersama. Dana ini kemudian bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan desa lainnya secara mandiri, tanpa menunggu bantuan pusat.
Dampak sosialnya juga terasa: warung kopi desa kini menjadi ruang interaksi warga, tempat diskusi, pelatihan, hingga pertemuan kelompok tani atau karang taruna. Kopi pun bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga jembatan sosial antar generasi.
4. Branding Kopi Desa Tangerang Menuju Pasar yang Lebih Luas
Salah satu tantangan utama bagi kopi lokal adalah masalah branding. Tanpa identitas yang kuat, kopi desa sulit bersaing dengan produk luar. Dalam kemitraan ini, BUMDes membantu membangun citra merek (brand identity) kopi desa melalui desain kemasan, narasi produk, hingga penciptaan logo.
Beberapa kopi lokal binaan BUMDes Tangerang telah memiliki nama dagang seperti “Kopi Lembah Cisoka”, “Kopi Kampung Jayanti”, dan “Biji Tua dari Balaraja”. Nama-nama ini mencerminkan asal-usul sekaligus daya tarik kultural produk.
Tak hanya visual, cerita di balik proses produksi—dari tangan petani, biji pilihan, teknik pengolahan tradisional—menjadi nilai jual emosional yang membuat konsumen lebih terhubung. Branding ini diperkuat melalui media sosial dan marketplace digital.
Beberapa kopi desa bahkan sudah masuk ke kedai kopi modern di Jakarta dan Bandung melalui sistem reseller komunitas. Artinya, kopi desa dari Tangerang mulai mendapat tempat di pasar premium.
5. Tantangan dan Harapan Kemitraan BUMDes-Kopi Lokal ke Depan
Meski terlihat menjanjikan, kemitraan usaha kopi dengan BUMDes tetap menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan SDM BUMDes, kurangnya pelatihan manajerial, hingga birokrasi perizinan yang lambat.
Selain itu, belum semua desa memiliki visi yang sama tentang pengembangan usaha kopi. Padahal, dengan dukungan ekosistem yang baik, kopi bisa menjadi komoditas unggulan desa yang berkelanjutan dan menguntungkan.
Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, pelaku usaha, dan komunitas. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) perlu memperkuat kapasitas BUMDes agar mampu menjadi lembaga bisnis profesional.
Ke depan, diharapkan model kemitraan seperti ini bisa diperluas ke sektor lain seperti kakao, teh herbal, atau agrowisata berbasis kopi. Dengan begitu, kopi desa bukan hanya menjadi peluang bisnis, tetapi juga jalan menuju kemandirian ekonomi lokal.
Kesimpulan
*Kemitraan usaha kopi lokal bersama BUMDes di Tangerang menjadi bukti bahwa kekuatan ekonomi desa bisa bangkit bila didukung struktur kelembagaan yang kuat.